Transaksi BI-FAST Capai Rp25 Kuadriliun dalam Hampir 4 Tahun, Kata BI

foto/istimewa

sekilas.co – Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa nilai transaksi yang diproses melalui BI-FAST telah menembus Rp25 kuadriliun dengan volume mencapai 9,61 miliar transaksi sejak peluncurannya pada Desember 2021 hingga September 2025.

Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, mengatakan capaian ini menjadi salah satu bukti kemajuan pesat pembayaran digital selama beberapa tahun terakhir, sejak implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Baca juga:

“Dalam kurun waktu enam tahun, sistem pembayaran Indonesia telah melakukan lompatan besar melalui berbagai inisiatif strategis. Selama periode ini, kita telah memiliki QRIS, BI-FAST, SNAP, serta elektronifikasi transaksi pemerintah dan transportasi,” kata Filianingsih saat membuka Bulan Fintech Nasional (BFN) 2025 di Jakarta, Selasa.

Filianingsih juga menyoroti interkoneksi pelaku sistem pembayaran yang semakin kuat, tercermin dari meningkatnya proporsi transaksi yang difasilitasi melalui penerapan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).

“Proporsi transaksi sistem pembayaran yang menggunakan standar SNAP mencapai 93 persen secara volume dan 83 persen secara nominal,” ujarnya.

Selain itu, Filianingsih merinci capaian transaksi QRIS, yang hingga September 2025 mencatat volume 10,33 miliar transaksi. QRIS telah menjangkau 58 juta pengguna dan 41 juta merchant di seluruh Indonesia.

“Dari 41 juta merchant itu, mayoritas atau lebih dari 90 persen adalah UMKM. Pencapaian ini juga mendorong rasio inklusi keuangan, yang menurut Susenas mencapai 75,02 persen,” kata dia.

Ia menambahkan, QRIS terus dikembangkan agar dapat digunakan untuk transaksi lintas negara (cross border). Saat ini, QRIS sudah terhubung dengan QR di Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Baru-baru ini, QRIS juga terhubung dengan QR Jepang, meski masih bersifat outbound, yaitu baru bisa digunakan masyarakat Indonesia untuk transaksi di Jepang. BI menargetkan pada akhir tahun ini QRIS dapat digunakan di Tiongkok, baik outbound maupun inbound.

“Kami berharap Korea Selatan dapat terintegrasi tahun depan, sebelum pertengahan tahun. Ini menegaskan peran Indonesia sebagai pionir integrasi pembayaran cross border di regional,” ujar Filianingsih.

BI memperkirakan volume transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD) akan mencapai 147,3 miliar transaksi pada 2030, meningkat empat kali lipat dibanding 2024. Untuk menjawab tantangan ini, BI memperkuat infrastruktur sistem pembayaran sebagaimana tertuang dalam BSPI 2030.

“Infrastruktur dirancang untuk mengantisipasi lonjakan transaksi pada 2030, sekaligus memperkuat manajemen risiko agar lebih tangguh terhadap fraud dan serangan siber,” kata Filianingsih.

Seiring kemajuan digital, Filianingsih mengingatkan adanya tantangan serius terkait risiko keamanan dan kejahatan digital, karena pola kejahatan fraud dan serangan siber semakin kompleks.

“Jenis serangan semakin canggih, mulai dari middleware attack, account takeover, synthetic ID, deepfake, AI driven attack, hingga social engineering yang menargetkan masyarakat luas,” ujarnya.

Oleh karena itu, pengelolaan risiko fraud dan siber harus dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif. Pelaku industri perlu memperkuat fraud detection system, strong authentication, serta menerapkan prinsip know your merchant atau know your customer.

Selain itu, peningkatan literasi digital dan perlindungan konsumen harus terus dilakukan, yang menjadi tanggung jawab tidak hanya regulator, tetapi juga industri dan pengguna.

“Dalam konteks ini, BSPI 2030 hadir sebagai kelanjutan dari BSPI 2025. Bank Indonesia berupaya menyeimbangkan antara perluasan adopsi digital dengan penguatan manajemen risiko,” tutup Filianingsih.

Artikel Terkait