Survei: Permintaan Kredit Bank Melemah karena Nasabah Menahan Pengajuan

foto/istimewa

sekilas.co – Situasi ekonomi terkini mulai menjadi ujian bagi daya tahan model bisnis perbankan nasional. Riset Inventure–Alvara 2025 mencatat terjadinya perubahan besar dalam perilaku nasabah yang berpotensi memengaruhi arah pertumbuhan industri keuangan dalam beberapa tahun mendatang.

Survei yang melibatkan 600 responden tersebut menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi menjadikan kredit maupun instrumen berisiko sebagai pilar utama dalam pengelolaan keuangan. Sebaliknya, nasabah kini cenderung lebih waspada, menahan ekspansi keuangan, serta mengutamakan perlindungan aset.

Baca juga:

Fenomena ini mencerminkan fase dormant economy, yakni kondisi ketika aktivitas ekonomi tetap berlangsung, namun bergerak secara defensif.

Bagi sektor perbankan, perubahan ini bukan sekadar pergeseran selera, melainkan transformasi mendasar dalam pola permintaan layanan keuangan yang akan memengaruhi arah bisnis ke depan.

Hasil riset menunjukkan penurunan signifikan pada berbagai produk kredit, mulai dari kartu kredit sebesar 40 persen, pinjaman pribadi 31 persen, hingga kredit kendaraan bermotor 23 persen. Mayoritas nasabah memilih mengurangi atau menunda komitmen finansial jangka menengah maupun panjang. Sebaliknya, minat terhadap reksadana dan tabungan berjangka justru meningkat, masing-masing sebesar 25 persen dan 20 persen.

Managing Partner Inventure, Yuswohady, menilai tren tersebut sebagai cerminan pola konsumsi frugal. Menurutnya, frugal consumer menggambarkan sikap konsumen yang rela melepas peluang keuntungan tinggi demi memastikan dana mereka tetap aman di tengah ketidakpastian ekonomi.

“Frugal consumer sangat berhati-hati terhadap komitmen jangka panjang. Mereka membatasi penggunaan kredit agar tetap memiliki fleksibilitas. Tabungan dan deposito menjadi ‘benteng pertama’ untuk menjaga stabilitas arus kas dalam situasi ekonomi yang belum pasti,” ujar Yuswohady, dikutip Senin (15/12/2025).

Tekanan terhadap pertumbuhan perbankan juga diperkuat oleh pergeseran preferensi investasi. Sebanyak 72 persen responden mengalihkan dana dari instrumen berisiko tinggi ke produk yang dinilai lebih aman, seperti deposito, emas, dan obligasi.

CEO Alvara Research Center, Hasannudin Ali, menyebut fenomena ini sebagai flight to safety yang semakin menguat.

“Nasabah saat ini memandang keamanan aset lebih penting dibanding potensi imbal hasil tinggi. Flight to safety menunjukkan bahwa masyarakat memilih stabilitas di tengah kondisi ekonomi yang dormant. Mereka mengutamakan perlindungan nilai ketimbang spekulasi,” jelasnya.

Di tengah melemahnya minat terhadap kredit dan investasi agresif, riset juga menemukan peluang baru. Sebanyak 56 persen responden kini memprioritaskan produk keuangan jangka panjang, seperti asuransi jiwa, asuransi pendidikan, dan dana pensiun.

Perubahan ini menandakan bahwa nasabah tidak sepenuhnya menghentikan perencanaan masa depan, melainkan menyesuaikan strategi. Fokus bergeser dari pertumbuhan cepat ke ketahanan finansial jangka panjang, terutama di tengah situasi ekonomi yang sarat ketidakpastian.

“Konsumen kini menyadari bahwa bertahan saja tidak cukup. Mereka perlu membangun perlindungan jangka panjang. Produk seperti asuransi dan dana pensiun menjadi instrumen strategis karena memberikan rasa aman yang tidak ditawarkan oleh produk jangka pendek,” tutup Yuswohady.

Artikel Terkait