Sekilas.co – Indonesia dengan segala kekayaan alam, keragaman budaya, dan warisan sejarahnya yang mendalam, sejak lama memimpikan sektor pariwisata yang tidak hanya menjadi mesin pencetak devisa negara, tetapi juga berdiri sebagai salah satu pilar peradaban bangsa. Impian itu bukan sekadar menghadirkan destinasi indah untuk wisatawan, melainkan membangun ekosistem yang mampu melestarikan budaya, menjaga lingkungan, serta memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat luas.
Kini, harapan itu mulai menemukan pijakan yang lebih kokoh. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjadi Undang-Undang (UU). Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menyebut pengesahan ini sebagai fondasi penting yang menandai dimulainya sebuah era baru pariwisata Indonesia: era yang lebih berkualitas, inklusif, berkelanjutan, dan berorientasi pada pembangunan manusia.
Pergeseran paradigma tersebut menegaskan bahwa pariwisata tidak lagi dipandang semata-mata sebagai sektor ekonomi, melainkan instrumen peradaban. Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menekankan bahwa pariwisata kini memiliki peran strategis dalam membangun kebudayaan, memperkuat identitas bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan kata lain, pariwisata tidak hanya mendatangkan tamu ke negeri ini, tetapi juga membentuk cara bangsa ini menampilkan diri ke dunia.
Meski begitu, di balik optimisme tersebut, tantangan besar masih membayangi. Degradasi lingkungan di sejumlah destinasi, tergerusnya nilai budaya lokal akibat komersialisasi, keterbatasan aksesibilitas dan fasilitas penunjang, rendahnya kualitas layanan, serta minimnya distribusi manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Kondisi ini tercermin dari fakta yang diungkap legislator: pada 2024, sekitar 44 persen devisa pariwisata Indonesia masih terkonsentrasi di Bali. Angka itu menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata masih timpang, belum merata di destinasi super prioritas lain seperti Danau Toba, Labuan Bajo, dan Borobudur. Jika pariwisata disebut sebagai “mesin pertumbuhan ekonomi nasional”, maka mesin itu harus berputar secara adil, tidak hanya menguntungkan satu wilayah.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kepariwisataan, Chusnunia Chalim, menegaskan bahwa UU baru ini lahir sebagai respons kolektif atas kesadaran bahwa model pariwisata lama, yang berorientasi pada kuantitas kunjungan dan eksploitasi sumber daya, sudah tidak relevan dengan tantangan zaman. Paradigma baru bertekad membangun pariwisata yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, sehingga tujuan akhirnya tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan rakyat, pelestarian lingkungan, dan penguatan identitas negara melalui budaya serta kemaritiman.
Dengan landasan ini, keberhasilan sektor pariwisata Indonesia ke depan tidak lagi diukur sebatas jumlah devisa atau angka kunjungan wisatawan, melainkan dari seberapa jauh kita mampu menjaga kelestarian alam, melestarikan budaya lokal, mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, serta memastikan masyarakat sebagai pemilik utama pariwisata ikut merasakan manfaatnya secara langsung.





