Sekilas.co – Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebenarnya dirancang untuk menghidupkan kembali industri dalam negeri. Dengan menarik pabrik pulang ke negeri sendiri, pemerintah berharap lapangan kerja bisa tercipta lebih banyak bagi masyarakat Amerika.
Namun sejumlah ekonom dan eksekutif perusahaan menilai kebijakan tersebut justru berpotensi menjadi senjata makan tuan. Alih-alih memperluas kesempatan kerja, tarif impor itu dinilai dapat memicu penurunan jumlah pekerja aktif di AS pada tahun 2026.
Mengutip laporan CNBC, Rabu (3/12/2025), kondisi pasar tenaga kerja AS saat ini sudah berada dalam fase stagnan: perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja, tetapi juga tidak membuka perekrutan baru. Banyak pelaku usaha memilih bertahan dengan jumlah tenaga kerja yang ada sambil memantau perkembangan kebijakan pemerintah.
Kekhawatiran utama datang dari potensi meningkatnya biaya operasional sebagai dampak tarif impor. Biaya produksi yang meningkat membuat perusahaan harus mencari cara efisiensi baru, dan pemangkasan karyawan menjadi opsi yang paling cepat dilakukan.
“Kami mulai menerapkan perubahan yang bersifat permanen karena situasi tarif ini,” ungkap seorang eksekutif di industri peralatan transportasi dalam survei Institute for Supply Management (ISM).
Eksekutif tersebut menjelaskan bahwa perubahan yang dimaksud berupa pengurangan tenaga kerja, penyesuaian arahan kepada pemegang saham, serta pertimbangan produksi di luar negeri untuk kebutuhan ekspor, ironi yang bertolak belakang dengan tujuan reshoring Trump.
Peringatan serupa datang dari manajer sektor peralatan dan komponen listrik yang menjadi responden survei lain. Menurutnya, tekanan bisnis yang dirasakan saat ini bahkan lebih berat dibandingkan masa pandemi Covid-19, khususnya terkait ketidakpastian rantai pasok global.
“Kondisinya lebih menantang dibandingkan ketika pandemi, terutama dalam menjaga stabilitas pasokan,” ujarnya.
Sebagai informasi, ISM tidak mengungkap identitas para responden surveinya secara personal, melainkan hanya menyebutkan sektor industrinya.
Data ISM terbaru menunjukkan indeks manufaktur per November 2025 berada di level 48,2%, menandakan aktivitas industri berada dalam fase kontraksi karena berada di bawah ambang batas 50%. Sementara itu, subindeks ketenagakerjaan turun 2 poin menjadi 44%, level terendah sejak Agustus lalu dan mempertegas tren pelemahan pasar kerja yang terus berlanjut secara bertahap.





