Sekilas.co – Indonesia, yang sering dijuluki sebagai “mahkota cincin api dunia,” berada di tengah-tengah realitas geologis yang menempatkannya sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Laporan World Risk Report 2023 menempatkan Indonesia pada posisi kedua global untuk tingkat kerentanan terhadap bencana, hanya satu tingkat di bawah Filipina.
Letaknya yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik besar, Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Filipina, menjadikan negeri ini memiliki zona subduksi megathrust dengan luas tiga kali lipat dari Jepang. Kondisi inilah yang menjadikan bencana alam bukan sekadar kemungkinan, tetapi keniscayaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, manifestasi dari kondisi geologi tersebut tampak jelas. Mulai dari banjir besar pada Maret 2025 yang merendam ribuan aset produktif, gempa magnitudo (M) 4,7 yang mengguncang wilayah Bekasi dan Jabodetabek pada Agustus 2025, hingga banjir bandang yang melumpuhkan pariwisata Bali pada September 2025.
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa bencana alam tidaklah acak, melainkan sebuah pola yang terus berulang. Para pakar bahkan memperingatkan, kerugian yang ditimbulkan bencana dapat mencapai Rp500 triliun hingga Rp800 triliun per tahun terhadap perekonomian nasional.
Indonesia adalah pusat dari Ring of Fire, sabuk vulkanik raksasa yang menjadi sumber lebih dari 80 persen gempa global. Menurut analisis geologi dari Ruben Damanik, Strategic Planning & Risk Management Group Head MAIPARK Indonesia, interaksi konstan antar lempeng tektonik memicu gempa, erupsi gunung berapi, hingga potensi tsunami dari Aceh sampai Papua. Data historis 1963–2023 menunjukkan hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang benar-benar aman dari ancaman gempa bumi.
“Kejadian gempa Cianjur 2022 akibat patahan tak terpetakan (unmapped faults) dan pola gempa beruntun seperti di Lombok 2012 membuktikan bahwa mitigasi tidak bisa lagi hanya mengandalkan catatan historis,” kata Ruben, Rabu (2/9/2025). Ia menekankan bahwa Peta Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN) 2025 yang memproyeksikan bertambahnya sumber-sumber gempa baru harus dijadikan acuan untuk berpikir lebih konservatif: mengantisipasi skenario terburuk (worst-case scenario) adalah kunci mitigasi yang efektif.
Salah satu “kejutan geologis” terbaru adalah gempa Bekasi M4,7 yang diikuti enam kali gempa susulan (aftershock). Peristiwa ini sekaligus kembali menyoroti keberadaan Sesar Baribis, patahan aktif yang membentang di selatan Jakarta. “Penelitian MAIPARK membuktikan bahwa sesar ini punya potensi besar mengguncang Ibu Kota, sekaligus membantah mitos lama yang menyebut Jakarta relatif aman dari gempa besar,” tambah Ruben.
Dampak bencana bukan hanya berupa kerusakan fisik pada bangunan atau infrastruktur, melainkan juga merambah ke aspek ekonomi, khususnya keberlangsungan usaha. Banjir bandang di Bali yang menghantam sektor pariwisata dan banjir di Jabodetabek yang melumpuhkan fasilitas publik memperlihatkan bagaimana kerugian tak langsung bisa jauh lebih masif dibandingkan kerusakan material semata. Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana alam tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga ancaman nyata bagi keberlanjutan bisnis, baik skala UMKM maupun korporasi besar.





