Polemik Tanah 16,4 Hektare Milik Jusuf Kalla di Makassar, Ini Penyebabnya

foto/istimewa

Sekilas.co – Sengketa status tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kembali menjadi sorotan publik. Kasus yang menyeret sejumlah pihak besar ini ternyata merupakan perkara lama yang akarnya telah berlangsung selama puluhan tahun.

Beberapa pihak terlibat dalam konflik pertanahan tersebut, antara lain Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) melalui PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang terafiliasi dengan Lippo Group, serta dua pihak perseorangan yaitu Mulyono dan Manyombalang Dg. Solong.

Baca juga:

Hasil penelusuran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menunjukkan bahwa lahan seluas 16,4 hektare itu memiliki dua dasar hak pertanahan berbeda.

Pertama, terdapat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996, dengan masa berlaku hingga 24 September 2036.

Kedua, di atas lahan yang sama juga terdapat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama PT GMTD Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.

“Kasus ini merupakan produk dari kebijakan era 1990-an. Kini terungkap karena kami sedang menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib,” kata Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2025).

Selain dua dasar hak tersebut, sengketa ini juga terkait dengan gugatan yang diajukan oleh Mulyono serta putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong, di mana GMTD dinyatakan sebagai pihak yang menang.

Nusron menjelaskan bahwa secara hukum, putusan tersebut hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara dan ahli warisnya, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama. Ia menegaskan bahwa secara faktual, PT Hadji Kalla juga memiliki hak yang sah berdasarkan dasar penerbitan yang berbeda.

“Fakta hukum menunjukkan di lahan tersebut terdapat beberapa dasar hak dan subjek hukum berbeda. Karena itu, penyelesaiannya harus dilakukan secara hati-hati, berbasis data, dan tidak bisa digeneralisasi hanya dengan satu putusan,” tegas Nusron.

Menurutnya, pelaksanaan eksekusi di lapangan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Makassar, sesuai dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sementara itu, Kementerian ATR/BPN berkewajiban memastikan bahwa objek tanah dalam putusan sesuai dengan data administrasi pertanahan yang tercatat.

Sebagai langkah koordinasi, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan melakukan konstatiring administratif sebelum eksekusi dilakukan, agar tidak terjadi kesalahan objek di lapangan.

“Langkah ini penting agar pelaksanaan putusan pengadilan tidak salah sasaran dan sesuai data faktual di lapangan,” imbuhnya.

Nusron menilai, kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempercepat digitalisasi dan sinkronisasi data pertanahan lama, guna mencegah munculnya sertifikat ganda (double certificate) atau tumpang tindih lahan di masa depan.

“Kalau kasus lama seperti ini muncul ke publik, justru karena sistem kita sekarang sedang dibuka dan dibersihkan. Kami ingin semua transparan agar ke depan tidak ada lagi tumpang tindih hak,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN bersikap netral dan tidak berpihak pada pihak mana pun, baik PT Hadji Kalla, PT GMTD (Lippo Group), Mulyono, maupun Manyombalang Dg. Solong. Fokus utama pemerintah adalah penertiban administrasi pertanahan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak.

“Kami berdiri di atas hukum, bukan di atas kepentingan siapa pun. Fokus kami adalah membenahi sistem pertanahan agar setiap hak berdiri di atas kepastian hukum,” pungkas Nusron.

Artikel Terkait