Desa Wisata di Indonesia Potensi Besar dan Tantangan yang Harus Diatasi

foto/istimewa

Sekilas.co – Mengguncang industri pariwisata. Aktivitas bepergian yang sebelumnya berlangsung masif mendadak terhenti, membuat masyarakat meninjau kembali cara lama dalam berwisata.

Dari kekosongan itu tumbuh kesadaran baru: wisatawan tidak lagi hanya mencari liburan, melainkan pengalaman otentik yang menghadirkan kedekatan dengan alam dan masyarakat. Desa wisata pun mencuat sebagai primadona baru.

Baca juga:

Fenomena ini sejatinya tidak datang tiba-tiba. Wisatawan jenuh dengan destinasi penuh sesak, fasilitas seragam, dan aktivitas yang artifisial. Mereka mendambakan pengalaman mendalam: tinggal bersama warga, mengikuti tradisi lokal, bahkan terlibat dalam aktivitas pertanian.

Seperti ditulis Kompas.id, desa wisata menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan hotel mewah: kehangatan dan keterhubungan.

Namun, di balik pesona tersebut, jalan desa wisata tidak selalu mulus. Kementerian Pariwisata dalam rapat dengan DPR pada September 2025 menyebut banyak desa wisata menghadapi masalah serius: selera wisatawan yang cepat berubah, kualitas yang belum stabil, tata kelola yang rumit, hingga tujuan yang kerap membingungkan.

Situasi ini menuntut semua pihak mengurai benang kusut, bukan sekadar latah mengikuti tren.

Gejolak selera wisatawan

Pergeseran minat wisatawan menjadi tantangan pertama. Jika dahulu pariwisata massal mendominasi, kini pasar lebih mengarah pada pengalaman yang unik dan personal.

Menurut UN Tourism dalam program Best Tourism Villages 2024, Sekretaris Jenderal Zurab Pololikashvili menyebut desa-desa penerima penghargaan membuktikan bahwa pariwisata bisa menjadi instrumen inklusi, memberdayakan masyarakat desa, melindungi warisan budaya, sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.

Wisatawan kini ingin mempelajari budaya, merasakan kehidupan pedesaan, dan tidak sekadar datang untuk berfoto.

Hasil penelitian global mengenai Community-Based Tourism (CBT) menyatakan bahwa pariwisata berbasis masyarakat mampu mempromosikan penghidupan yang adil dan meningkatkan pendapatan lokal, dengan syarat ada partisipasi masyarakat, regulasi yang jelas, serta dukungan kebijakan.

Perubahan ini berlangsung cepat. Desa wisata yang tidak mampu beradaptasi bisa segera ditinggalkan. Desa yang hanya mengandalkan panorama tanpa aktivitas interaktif akan kesulitan bersaing.

Program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) menjadi salah satu cara pemerintah mendorong inovasi.

Beberapa desa terbukti berhasil setelah mengikuti ADWI, kunjungan wisatawan naik hingga 80 persen dan pendapatan desa meningkat lebih dari 50 persen.

Fakta ini memberi pelajaran bahwa desa wisata tidak bisa statis. Ia harus terus berevolusi mengikuti dinamika selera wisatawan.

Pergeseran pasar ini juga membuka peluang. Desa yang mampu membaca tren dapat menjadi destinasi utama, bukan sekadar alternatif.

Desa yang berani mengembangkan paket pengalaman—seperti belajar gamelan, memasak kuliner lokal, atau wisata edukasi lingkungan—lebih mudah menarik generasi muda yang mencari pengalaman autentik.

Kerumitan tata kelola

Di balik antusiasme besar, persoalan tata kelola kerap menjadi hambatan. Indonesia memiliki lebih dari 6.000 desa wisata, tetapi sebagian besar masih berstatus rintisan dengan keterbatasan fasilitas, promosi, dan kapasitas masyarakat. Potensi besar terasa menggantung.

Studi global mengenai CBT menunjukkan di banyak negara berkembang, kebijakan pariwisata sering lemah dalam mendukung partisipasi masyarakat, pengaturan lingkungan, dan pembagian manfaat ekonomi yang adil.

Sebuah makalah evaluasi kebijakan pariwisata di negara-negara berkembang menyebut kerangka regulasi sering belum cukup melibatkan masyarakat secara penuh, sehingga manfaatnya tidak merata.

Kerumitan makin jelas ketika banyak lembaga terlibat. Pengembangan desa wisata bukan hanya urusan Kementerian Pariwisata, tetapi juga Kementerian Desa, PUPR, Lingkungan Hidup, hingga Bappenas.

Tanpa koordinasi rapi, program berisiko tumpang tindih. Penelitian CBT internasional juga menjelaskan tata kelola yang buruk, misalnya konflik kepemimpinan lokal, lemahnya kapasitas manajerial, atau ketergantungan pada dana eksternal, sering menjadi penyebab kegagalan.

Di tingkat lokal, tantangannya tak kalah pelik. Kepala desa, BUMDes, dan Pokdarwis kerap berjalan dengan kepentingan masing-masing.

Padahal, desa wisata membutuhkan sinergi. Tanpa itu, pengembangan akan terpecah-pecah, ibarat puzzle yang tak pernah utuh.

Selain itu, tujuan desa wisata kerap membingungkan. Apakah fokus pada peningkatan pendapatan atau pelestarian budaya? Bagaimana menyeimbangkan kunjungan wisatawan tanpa merusak lingkungan?

Program Sertidewi (sertifikasi desa wisata berkelanjutan) maupun sertifikasi halal bagi UMKM adalah langkah positif, tetapi implementasinya di lapangan tidak selalu mudah.

Banyak pengelola desa masih dihadapkan pada dilema: mengejar ekonomi atau menjaga keaslian.

Desa wisata pada dasarnya menyimpan harapan besar. Pengakuan internasional seperti Best Tourism Villages dari UN Tourism membuktikan desa yang berhasil mengelola aset lokalnya secara berkelanjutan tak hanya menarik wisatawan, tetapi juga memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Keberhasilan ini menegaskan bahwa dengan strategi tepat, desa wisata bisa lebih dari sekadar alternatif, ia bisa menjadi ujung tombak pariwisata yang adil dan lestari.

Untuk itu, sejumlah langkah konkret perlu dijalankan: meningkatkan kapasitas lokal lewat pelatihan layanan wisata dan pengelolaan destinasi, membangun regulasi yang jelas dan transparan terkait pembagian manfaat serta pelestarian budaya, dan memperkuat kolaborasi lintas lembaga (pusat, daerah, masyarakat, swasta).

Jika semua pihak bersinergi, desa wisata bukan hanya menjawab kerinduan wisatawan akan pengalaman otentik, tetapi juga motor pembangunan budaya, ekonomi, dan lingkungan yang nyata di Indonesia.

Artikel Terkait