sekilas.co – Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen per tahun di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Target ini memang ambisius, namun bukan hal yang mustahil. Yang lebih penting dari sekadar angka pertumbuhan adalah cara untuk mencapainya. Selama ini, sistem pembiayaan nasional masih bertumpu pada bunga dan margin perbankan, yang membuat uang berputar lebih cepat daripada barang dan jasa. Akibatnya, bank tumbuh, tetapi sektor riil tertatih.
Kini, saatnya Indonesia mencoba pendekatan baru: pembiayaan berbasis biaya dasar layanan, di mana lembaga keuangan tidak mencari keuntungan dari waktu, melainkan hanya menutup ongkos pelayanannya secara efisien dan transparan.
Biaya dasar layanan adalah kompensasi tetap yang dibayarkan debitur untuk menutup biaya administrasi, sistem, pengawasan, dan sumber daya manusia yang menjaga kelancaran pembiayaan. Nilainya ditetapkan di awal dan tidak berubah karena waktu.
Berbeda dengan bunga, biaya dasar tidak memperjualbelikan waktu, melainkan memberi nilai pada kerja dan pelayanan. Misalnya, seorang pelaku usaha kecil meminjam Rp10 juta. Dalam sistem lama, ia membayar bunga 10 persen dan harus mengembalikan Rp11 juta setelah setahun.
Dalam sistem biaya dasar, ia hanya membayar biaya layanan sebesar Rp500 ribu. Total pengembalian menjadi Rp10,5 juta cukup untuk menutup biaya operasional lembaga keuangan tanpa menekan pelaku usaha dengan bunga yang menggerus margin mereka.
Penting untuk digarisbawahi, biaya ini ditetapkan berdasarkan ongkos riil pelayanan, bukan berdasarkan persentase pokok pinjaman atau tenor. Inilah perbedaan mendasar dari bunga, yang sejatinya merupakan harga dari waktu.
Dengan pendekatan ini, lembaga keuangan dapat beroperasi secara sehat tanpa harus berorientasi pada profit. Masyarakat memperoleh akses modal yang murah dan transparan, sementara negara mendapatkan efek pertumbuhan riil yang lebih merata.
Alasan umum bank menolak model nirlaba adalah tingginya biaya operasional. Namun, laporan keuangan banyak bank menunjukkan bahwa sebagian besar biaya tersebut bukan merupakan biaya layanan dasar, melainkan biaya korporat seperti bonus, promosi, target laba, serta berbagai overhead manajerial.
Bank-bank BUMN, misalnya, mencatat biaya operasional sekitar Rp58 triliun per tahun, dengan rasio efisiensi (BOPO) di kisaran 50–70 persen. Artinya, separuh pendapatan mereka habis untuk biaya internal, bukan untuk pelayanan nasabah. Padahal, jika difokuskan hanya pada biaya operasional inti seperti sistem, SDM, dan infrastruktur layanan kebutuhan riil jauh lebih kecil. Di sinilah konsep biaya dasar layanan menjadi relevan: lembaga keuangan bisa tetap efisien tanpa kehilangan kemampuan melayani.
Data operasional Permodalan Nasional Madani (PNM) memperkuat gambaran tentang kelayakan finansial model biaya dasar layanan. Hingga akhir 2024, PNM memiliki lebih dari 15,4 juta nasabah aktif, pendapatan bersih Rp13,37 triliun, dan beban operasional sekitar Rp11,88 triliun (diestimasi dari laba Rp1,49 triliun). Jika biaya inti dibagi rata, nilainya setara dengan Rp770 ribu per nasabah per tahun, atau sekitar Rp64 ribu per bulan.
Model Biaya Dasar Layanan untuk Pertumbuhan Berkeadilan
Keberhasilan PNM menunjukkan bahwa pembiayaan tanpa bunga bisa efisien dalam skala nasional seperti Grameen Bank di Bangladesh yang sukses mengembangkan microfinance nirlaba. Data PNM membuktikan bahwa model biaya dasar layanan layak dipertimbangkan sebagai alternatif pembiayaan nasional.
Untuk menjaga keadilan, tarif layanan dapat dibuat bertingkat. Misalnya, nasabah ULaMM dikenakan biaya Rp3 juta per tahun, sedangkan nasabah Mekaar—yang mayoritas perempuan prasejahtera cukup Rp540 ribu, atau sekitar Rp45 ribu per bulan. Dengan sistem tanggung renteng, risiko gagal bayar tetap rendah dan biaya itu masih realistis.
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan Rp200 triliun dana pemerintah di bank-bank Himbara menjadi momentum tepat untuk menguji konsep ini. Tidak semua dana harus disalurkan melalui kredit berbunga; sebagian, misalnya 20 persen (Rp40 triliun), bisa dialokasikan ke PNM dengan skema biaya dasar layanan. Dengan rata-rata pembiayaan Rp50 juta, dana ini berpotensi menjangkau 800 ribu pelaku UMKM baru.
Berdasarkan kajian Bappenas dan LPEM UI (2019), multiplier investasi di Indonesia mencapai rata-rata 3,02 bahkan hingga 4 kali di sektor perdagangan dan manufaktur ringan. Artinya, Rp40 triliun dana publik berpotensi menciptakan nilai ekonomi baru Rp120–160 triliun per tahun, tanpa bunga dan tanpa membebani APBN.
Model ini juga menjawab dilema lama antara subsidi dan profit. Subsidi bunga seperti KUR seringkali justru menambal margin bank, bukan memperkuat sektor usaha. Dengan sistem biaya dasar, lembaga keuangan tetap memperoleh kompensasi wajar, pelaku usaha mendapat modal murah, dan negara menghemat anggaran tanpa kehilangan fungsi sosial.
Pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan hanya soal besarnya investasi, tetapi bagaimana uang bekerja di tingkat paling dasar. Ketika lembaga keuangan berhenti menjual waktu dan mulai menjual pelayanan, efisiensi meningkat, risiko menurun, dan pemerataan ekonomi menjadi nyata.
Penerapan biaya dasar layanan bukan sekadar inovasi teknis, tetapi perubahan paradigma dari sistem yang mengejar margin menjadi sistem yang mengejar keberlanjutan. Jika 20 persen dana publik dijalankan dengan model ini, Indonesia dapat membuktikan bahwa pertumbuhan tinggi tidak harus datang dari bunga tinggi, melainkan dari pelayanan yang jujur, efisien, dan berkeadilan.
Uang sejatinya diciptakan sebagai alat tukar, bukan komoditas. Nilainya muncul ketika ia menggerakkan kegiatan produktif, bukan ketika disimpan atau diperdagangkan untuk keuntungan semata. Ekonomi akan tumbuh ketika uang benar-benar bekerja untuk manusia.
Baratadewa Sakti P., praktisi keuangan keluarga dan pendamping keuangan UMKM.





